Fikih Aqiqah dalam Islam

Di antara sunnah Rosulalloh shallallahu alaihi wasallam adalah menyembelih hewan setelah kelahiran seorang anak. Penyembelihan hewan tersebut disebut dengan istilah Aqiqah dalam agama Islam. Makna asal aqiqah adalah rambut kepala yang tumbuh pada seorang yang dilahirkan, kemudian orang Arab menyebut hewan sembelihan pada hari dicukurnya rambut seorang bayi dengan sebutan aqiqah. Adapun makna aqiqah dalam istilah syar’i menurut Imam as-Shan’ani rahimahullah dalam kitab Subulusalam yaitu hewan sembelihan untuk seorang anak yang dilahirkan. Dalam kitab Kifayah al-Akhyar, disebutkan bahwa aqiqah adalah sebutan untuk hewan yang disembelih pada hari ketujuh pada saat rambutnya dicukur dan diberi nama.

Imam Ibnu Qayyim rahimahullah dalam kitab Tuhfatul Maudud menyebutkan beberapa manfaat dari aqiqah, di antaranya: merupakan ibadah kepada Alloh Ta’ala, sifat mulia untuk menghilangkan kekikiran, memberi makan orang lain, melepaskan gadaian seorang anak, memberantas khurofat kejahiliyahan dan memperkenalkan nasab seorang anak.

Hukum aqiqah dalam Islam adalah sunnah mu’akaddah yaitu sunnah yang ditekankan menurut pendapat yang lebih tepat. Imam as-Shan’ani rahimahullah berkata, “Menurut jumhur ulama aqiqah adalah sunnah. Dawud dan para pengikutnya berpandangan bahwa hukum aqiqah adalah wajib.” (Subulusalam)

Rosulalloh shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya telah mempraktikkan aqiqah, beliau shallallahu alaihi wasallam mengaqiqahi Hasan radhiallahu anhu dan Husain radhiallahu anhu dengan seekor domba untuk masing-masing dari keduanya. Sehingga, melakukan aqiqah termasuk perbuatan mulia yang mengikuti jejak orang-orang mulia.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ كَبْشًا كَبْشًا.

“Dari Ibnu Abbas Ra bahwa Rosulalloh shallallahu alaihi wasallam mengaqiqahi Hasan dan Husaen masing-masing dengan seekor domba”. (HR. Abu Dawud)

Abu Ishaq as-Syairozi menjelaskan bahwa sunnah hukumnya bagi yang dianugerahi kelahiran seorang anak untuk mencukur rambutnya pada hari ketujuh, jika anak tersebut seorang laki-laki maka disembelihkan dua ekor kambing dan jika seorang perempuan maka disembelihkan satu ekor kambing saja, dan disunnahkan pula untuk membagi-bagikan daging tersebut kepada orang-orang fakir miskin tanpa memecahkan tulang-tulangnya. Kitab at-Tanbih

عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: « كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

Dari Samuroh bin Jundub, Rasululloh shallallahu alaihi wasallam  bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan akikahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur, dan diberi nama.” HR. Abu Dawud.

Menurut Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah sebagaimana dinukil oleh al-Khatabi rahimahullah bahwa maksud hadits tersebut adalah jika seorang anak kecil mati dan dia belum diaqiqahi maka dia tidak bisa memberi syafaat untuk kedua orang tuanya. Imam ibnu Qayyim al-Jauziyyah rahimahullah meluruskan pemahaman dari maksud tergadaikan dengan aqiqahnya yaitu Allah Ta’ala telah menjadikan aqiqah terhadap anak sebagai sebab pembebasan gadainya dari setan yang telah berusaha mengganggunya semenjak kelahirannya ke dunia. Maka, aqiqah menjadi tebusan dan pembebas si anak dari tahanan setan terhadapnya, dari pemenjaraan setan di dalam tawanannya, dari halangan setan terhadapnya untuk meraih kebaikan-kebaikan akhiratnya yang merupakan tempat kembalinya.

Abdulmuhsin al-Abbad rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits tersebut terdapat penjelasan bahwa yang lebih utama dalam menyembelih hewan untuk aqiqah yaitu pada hari ketujuh dari hari kelahirannya dan pada hari tersebut diberi nama. (Syarh Sunan Abu Dawud)

Jenis dan persyaratan hewan yang disembelih untuk aqiqah sama seperti jenis dan persyaratan pada hewan qurban, yaitu onta, sapi dan kambing. Ada juga yang mengatakan aqiqah tidak menggunakan hewan onta dan sapi. Hewan aqiqah untuk anak laki-laki adalah dua ekor kambing dan aqiqah untuk perempuan dengan satu ekor kambing. Dibolehkan pula aqiqah dengan satu ekor kambing untuk anak laki-laki sebagaimana yang dipraktekkan oleh Rosulalloh shallallahu alaihi wasallam ketika mengaqiqahi Hasan dan Husain. Jumlah hewan yang disembelih untuk aqiqah disesuaikan dengan jumlah anak yang lahir. Berarti jika terlahir dua anak kembar maka hewan aqiqahnya masing-masing, tidak bisa dicukupkan hanya satu hewan saja.

عن عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَهُمْ عَنِ الغُلاَمِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الجَارِيَةِ شَاةٌ.

Dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Rosulalloh shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk mengaqiqahi seorang anak laki-laki dengan dua ekor kambing yang sepadan dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. (HR. Tirmidzi).

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan untuk mengaqiqahi seorang anak laki-laki dengan dua ekor kambing dan anak perempuan dengan satu ekor kambing. Umur kambing, terbebasnya dari cacat, makan dan mensedekahkannya sama sebagaimana pelaksanaan hewan qurban.” (Minhaj at-Thalibin).

Abdurrahman bin Ibrahim al-Maqdisi rahimahullah menjelaskan dalam kitab Al-Uddah Syarh Al-Umdah bahwa jika tidak bisa aqiqah pada hari ketujuh maka dilaksanan pada hari keempat belas, dan jika tidak bisa maka dilaksanakan pada hari keduapuluh satu.

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan tentang hukum aqiqah seorang bayi yang meninggal setelah lahir, beliau berkata, “Jika seorang anak telah lahir setelah melewati fase empat bulan (Di kandungan) maka dia diaqiqahi dan diberi nama pula, karena setelah empat puluh hari ditiupkan kepadanya ruh dan dibangkitkan pada hari kiamat.” (Liqa al-Bab al-Maftuh).

Syaikh al-Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa jika seorang anak meninggal sebelum hari ketujuh maka gugurlah aqiqahnya karena aqiqah itu disyariatkan pada hari ketujuh setelah kelahirannya. Hanya saja beliau rahimahullah tetap menganjurkan bagi orang yang memiliki kemampuan untuk tetap aqiqah. Anjuran melaksanakan aqiqah adalah tanggung jawab seorang ayah yang menanggung nafkah anak, bukan ibu maupun anaknya. Ketika waktu dianjurkannya aqiqah dan sang ayah dalam keadaan tidak mampu maka ia tidak diperintahkan untuk aqiqah karena prinsip ketaqwaan dibangun di atas batas kemampuan seorang hamba.

Allah Ta’ala berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

 “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Maka bertakwalah kalian kepada Allah menurut kesanggupan kalian.” (QS. at-Thaqabhun: 16)
Seandainya orang tua dalam keadaan tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah, kemudian memiliki kemampuan maka tetap tidak diharuskan baginya untuk menunaikan aqiqah karena aqiqah menjadi gugur disebabkan ia tidak memiliki kemampuan. Jika orang tua dalam keadaan mampu ketika sang anak lahir, namun ia menunda aqiqah hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa. Sedangkan jika seseorang mampu mengaqiqahi anak karena punya penghasilan rutin yang cukup, hanya saja pada saat waktu aqiqah tidak mempunyai biaya maka dibolehkan meminjam terlebih terlebih dahulu dan dibayar pada saat ia menerima penghasilan rutinnya. Tapi, bagi seseorang yang tidak punya penghasilan rutin maka tidak dianjurkan untuk memaksakan diri sampai hutang. Allahu a’lam
Tag : Hukum
Back To Top